Kelas Penulisan Cerita Anak Komite Sastra DKJ Bersama Reda Gaudiamo (Bagian 1)

Noor H. Dee


Metode menulis cerita ada banyak: ada snowflake method, three-act structure, dan lain sebagainya.

Menulis cerita anak pun seperti itu, metodenya bisa dibilang cukup beragam.

Itu sebabnya, meskipun pernah ikut lokakarya The Art of Creating Narration for Picture Books yang diadakan oleh SCBWI Indonesia (kalian bisa melihat catatan saya tentang lokakarya ini di sini), saya nekat mengirim cerita anak saya ke acara Kelas Penulisan Cerita Anak Bersama Reda Gaudimo untuk diseleksidan alhamdulillah cerita anak saya lolos.

Sebelum ikut mendaftar kelas itu, teman kantor saya sempat berkomentar, "Elu ngapain sih masih ikut-ikutan acara kayak gitu? Kasih kesempatan untuk yang lain."

Ada tiga alasan mengapa saya mengikuti acara itu: pertama, saya masih merasa bodoh dalam dunia sastra anak dan merasa masih perlu terus belajar. Kedua, seperti yang sudah saya bilang di awal tulisan, metode menulis cerita itu ada banyak, jadi saya ingin mempelajari (kalau bisa) semua metode itu. Ketiga, acara ini diselenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Seumur hidup saya, setahu saya, DKJ belum pernah memberikan perhatian kepada sastra anak. Baru tahun ini saja DKJ berlaku seperti ini (saya sangat mengapresiasi DKJ atas usahanya ini. Thanx!)

Kelas Penulisan Cerita Anak Bersama Reda Gaudiamo ini akan dilaksanakan selama 8 kali pertemuan, dan durasi setiap pertemuan berlangsung selama dua jam. Jumat kemarin (14 Oktober 2017) adalah pertemuan perdana.

Insya Allah saya akan mencatat apa yang saya peroleh dari kelas tersebut untuk kemudian saya taruh di blog ini secara berkala. Siapa tahu saja kamu bisa mendapatkan manfaatnya. Aamiin.

Oke, mari kita mulai.

Mengapa menulis cerita anak?

Pada pertemuan perdana ini, Mbak Reda memulai kelas dengan pertanyaan: mengapa memilih menulis cerita anak? Apa yang menarik dari penulisan cerita anak?

Mbak Reda memberikan enam jawaban:

1. Karena, banyak ide yang harus dieksplorasi segera.
2. Karena, bermain dengan gambar dan kata itu seru.
3. Karena, ingin turut serta dalam upaya mencerdaskan anak.
4. Karena, pada dasarnya semua orang suka bercerita.
5. Karena, cerita anak hampir selalu menguntungkan, selalu tumbuh (baik jumlah judul maupun omzetnya), dan tak kenal musim.
6. Karena, menulis buku anak (dianggap) lebih gampang daripada menulis novel untuk dewasa.

Untuk poin no. 3, Mbak Reda memberikan data survey tahun 2015 dari Scholastic Books bahwa 71% orangtua percaya bahwa buku membantu anak bisa berpikir kritis.

Untuk poin no. 5, Mbak Reda memberikan data dari IKAPI tahun 2014 bahwa prosentasi omzet buku anak adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan buku fiksi dan kesusastraan lainnya. Perbandingannya 22,64% vs 12,89%.

Untuk poin no. 6, Mbak Reda memberikan bantahan terhadap anggapan orang-orang yang mengatakan menulis buku anak itu gampang.

"Menulis buku anak itu enggak gampang. Untuk menulis buku anak, saya membutuhkan waktu empat tahun," ujar Mbak Reda.

Definisi cerita anak

Mbak Reda kemudian menjelaskan definisi buku anak. Dalam presentasinya, Mbak Reda mengutip Children Literature according to Library of Congress, yang berbunyi:
"Cerita anak: cerita yang ditulis, diterbitkan sebagai bahan bacaan, hiburan, informasi (pengetahuan) untuk anak-anak, atau anak praremaja."

Mbak Reda juga mengutip pendapat Robyn Opie Parnell yang terdapat dalam buku How to Write a Great Children's Books, bahwa cerita anak adalah,
"Cerita dengan tokoh anak, dan pembacanya anak-anak juga. Dalam cerita, sang tokoh bisa menyelesaikan masalahnya dengan upayanya sendiri (bantuan dari tokoh orang dewasa/orangtua dibuat seminimal mungkin, atau bahkan tidak ada sama sekali)."

Kategori dan genre

Setelah itu, Mbak Reda mulai menjelaskan beberapa macam kategori atau format buku anak (isi pembahasannya hampir serupa dengan pembahasan saya di sini).

Mbak Reda juga memberikan penjelasan kepada kami tentang genre yang terdapat dalam buku anak. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Fiksi Sain: The Hobbit (JR. Tolkien) dan Terlontar ke Masa Silam (Djoko Lelono)
Fantasi: Harry Potter (JK Rowling) dan Charlie & The Chocolate Factory (Road Dahl)
Cerita Horor: The Graveyard Book (Neil Geiman)
Biografi: Good Night Stories for Rebel Girls (Elena Favilli & Francesca Cavallo)
Edukasi/Pembelajaran: Horrible Histories Series (Terry Deary & Peter Hepplewhite)
Religi dan Keragaman: The Genius of Islam (Bryn Barnard)
Orientasi Gender (buku yang ditulis khusus untuk anak perempuan atau anak laki-laki saja)
Karakter Berlisensi: misalnya buku-buku Disney.

Saat menjelaskan beragam jenis kategori atau format dan genre buku anak, Mbak Reda mengeluarkan koleksi buku-buku anaknya yang keren-keren sebagai contoh. Tidak tanggung-tanggung, Mbak Reda sampai membawa koleksi buku-bukunya sebanyak tas ransel berukuran besar. Saya takjub melihatnya. Terlihat sekali betapa Mbak Reda benar-benar mencintai buku anak. Semuanya terbitan luar negeri.

Saat sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya, "Mengapa contoh-contoh buku ini kebanyakan terbitan luar? Apakah buku anak terbitan lokal tidak ada yang bagus?"

Mbak Reda menjawab, "Waktu di Frankfurt Book Fair, saya melihat buku-buku anak lokal sudah bagus-bagus juga. Tapi kayaknya susah dapetinnya, ya."

Mbak Reda juga sempat bilang bahwa untuk buku-buku bayi seperti boardbook terbitan lokal juga sudah bagus-bagus.

Latihan #1

Kemudian, Mbak Reda meminta kami untuk menulis satu judul buku yang paling berkesan dan berikan alasannya. Para peserta, termasuk saya, pun menulis tentang buku apa yang paling berkesan. Saya, tentu saja, menulis judul buku The Giving Tree karya Shel Sylverstein.

Anak-anak, buku anak, dan menulis menurut Reda Gaudiamo

- Anak-anak itu makhluk cerdas. Bahkan, kadang lebih cerdas dari ayah ibunya. Jadi, jangan anggap remeh mereka.
- Isu serius bisa disampaikan pada anak-anak.
- Buku anak yang baik, akan disuka oleh orang dewasa.
- Buku cerita anak, bukan buku pelajaran agama. Jadi, tak perlu berisi khotbah.
- Menulis dengan baik dimulai dari membaca buku-buku yang baik.
- Menulis buku anak: menulis dengan bahasa yang baik dan benar.
- Menulis dengan sederhana, itu perlu latihan.
- Menguasai tata bahasa: PENTING!
- Tokoh utama dalam cerita anak: ANAK!
- Tokoh muncul lebih dulu, jalan cerita mengikuti.

Latihan #2

Mbak Reda menjelaskan tentang betapa pentingnya tokoh cerita.

"Saya terbiasa menciptakan tokoh ceritanya dulu, baru setelah itu cerita akan muncul kemudian," kata Mbak Reda.

Kemudian, untuk melatih membuat karakter, Mbak Reda meminta kami untuk mendeskripsikan sahabat terdekat kami; lengkap dengan tingkah lakunya, gaya bicaranya, kebiasaannya, warna kesukaannya, dan lain sebagainya.

Kami pun mulai sibuk menulis tentang sahabat kami masing-masing. Saya menulis tentang siapa? Tentu saja tentang Petet, sahabat terbaik saya. Hahaha.

Ada hal menarik dalam latihan ini. Ternyata, menulis tentang sahabat sendiri itu sangat menyenangkan. Ketika masing-masing peserta disuruh membacakan hasil tulisannya, saya mendengar kisah-kisah sahabat yang lucu dan unik. Bahkan, ada yang bisa langsung dijadikan sebuah cerita.

PR

Ternyata Mbak Reda memberikan kami PR yang harus kami kerjakan di rumah. Oh tidak! Tugasnya adalah membuat ulasan tentang tokoh utama dalam buku Na Willa: Serial Catatan Kemarin karangan Mbak Reda dan menuliskan kembali deskripsi tokoh dengan detail dari cerita yang pernah kami kirimkan untuk seleksi acara ini.

Sebelum kelas berakhir, para peserta mendapatkan buku Na Willa! Yihaaa! Dan, acara pun berakhir dengan meminta tanda tangan Mbak Reda. :D

Demikianlah catatan mengenai kelas penulisan cerita anak bersama Reda Gaudiamo. Tunggu catatan-catatan saya berikutnya, ya. Terima kasih.

Semoga bermanfaat!

(Di bawah ini ada beberapa foto yang menggambarkan suasana kelas. Foto diambil dari dokumentasi DKJ)






Coprights @ 2017, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates