Memilih Buku untuk Anak

Noor H. Dee


Setiap orangtua tentu ingin memberikan pilihan yang terbaik untuk anak-anaknya. Entah itu pakaian, mainan, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. Sebisa mungkin mereka akan mencari tahu terlebih dahulu, memikirkannya secara masak-masak, sebelum akhirnya mereka mengambil sebuah keputusan. Intinya, bagi orangtua, memberikan sesuatu kepada anak-anak bukanlah sesuatu hal yang main-main. Ada pergulatan yang intens di sana. Memilih adalah perkara yang serius.

Begitu pula ketika memilih sebuah buku untuk anak, para orangtua tentu tidak ingin memilih buku yang sembarangan. Mereka ingin memilih buku-buku yang dapat memberikan manfaat dan kesenangan bagi si anak. Mereka ingin memilih buku-buku yang dapat memberikan pengaruh baik bagi si anak. Mereka ingin memilih buku-buku yang anak-anak mereka pun akan menyukainya. Intinya, mereka ingin memilih buku yang tepat bagi si anak.

Masalahnya, caranya bagaimana? Nah. Pertanyaan sederhana inilah yang sering membuat orangtua kebingungan. Bagaimana cara memilih buku yang tepat untuk anak?

Dalam buku Essentials of Children's Literature, disebutkan cara bagaimana memilih buku untuk anak: pertama, kenali anaknya; kedua, kenali bukunya.

Kenali anaknya

Orangtua yang baik tentu sudah mengetahui minat dan bakat anaknya. Dengan mengetahui minat dan bakat anaknya, tentu hal itu bisa lebih memudahkan orangtua ketika ingin memilih buku.

Buku-buku anak saat ini bisa dibilang sangat beragam, baik format ataupun temanya. Ada yang formatnya boardbook , ada juga yang kertas biasa. Ada yang bertemakan sejarah, sains, bahkan agama. Pilihlah buku-buku yang sekiranya sesuai dengan minat dan bakat anak.

Selain itu, orangtua juga setidaknya sudah bisa mengetahui tingkat kemampuan membaca si anak. Tingkat kemampuan membaca seorang anak bukan ditentukan oleh usia. Ada anak yang sudah bisa membaca di usia 4 tahun, tetapi ada juga anak yang belum bisa membaca meskipun sudah berusia 6 tahun. Itu sebabnya, tolok ukur yang pas untuk menentukan kategori bacaan anak adalah dengan cara leveling atau penjenjangan sesuai dengan perkembangan anak—mari kita doakan semoga penyusunan leveling atau penjenangan buku anak dan remaja yang saat ini sedang digodok oleh Dikbud bisa segera diselesaikan. Dengan mengetahui tingkat kemampuan membaca si anak, tentu akan lebih memudahkan orangtua dalam memilih buku.

Kenali bukunya

Orangtua yang gemar membaca buku anak dan sudah akrab dengan beragam genre buku anak tentu sudah bisa menilai seperti apakah buku yang tepat untuk anaknya.

Hal-hal teknis yang bisa orangtua terapkan ketika memilih buku adalah tingkat keterbacaan bukunya (apakah kata-kata yang dipakai dalam buku itu adalah kata-kata yang umum atau tidak umum), struktur kalimatnya (apakah kalimatnya pendek-pendek dan sederhana atau panjang-panjang dan rumit). Pilihlah yang sekiranya sesuai dengan tingkat kemampuan membaca si anak. Selain itu, pemilihan jenis font mungkin bisa juga dijadikan acuan. Apakah jenis font-nya sudah sesuai dengan karakter bukunya. Misal, buku balita lebih cocok dengan jenis font yang tidak berkait atau font sanserif. 

Kira-kira seperti itu.[]

*sumber gambar: http://www.wavetomummy.com/2015/12/how-to-grow-love-of-reading-in-toddlers.html

Cerita Sederhana nan Menakjubkan tentang Si Ulat yang Kelaparan

Noor H. Dee

The Very Hungry Caterpillar karya Eric Carle adalah buku anak yang benar-benar membuat saya tergigit (terpesona)—dan gigitannya itu masih membekas sampai sekarang.

Buku itu bercerita tentang seekor ulat kecil berkepala merah yang kelaparan, yang akhirnya memakan segala hal, dan kemudian ia betul-betul kekenyangan.

Ceritanya sangat sederhana, ya? Ya, memang betul. Namun, di balik kesederhanaannya itu, buku yang telah diterjemahkan ke dalam 62 bahasa itu sesungguhnya mengandung beberapa pelajaran yang sangat bermanfaat untuk anak-anak, seperti pelajaran berhitung, pengenalan nama-nama hari, buah-buahan, makanan, merangsang imajinasi, serta memberikan informasi tentang metamorfosis. Unsur-unsur fiksi yang terdapat dalam buku itu, seperti karakter, konflik, latar, dan sebagainya, pun tergarap dengan baik. Belum lagi soal kemasannya, sangat menarik dan tidak biasa. Bisa dibilang, buku itu paket komplet.

Itu sebabnya, tidak aneh jika buku yang terbit pada 1969 itu memperoleh banyak sekali penghargaan bergengsi dan memiliki banyak sekali penggemar dari berbagai negara.

Dan, buku itu masih terus dicetak sampai sekarang. Bahkan, buku tentang si ulat yang kelaparan itu pun merambah ke wilayah non-buku seperti mainan, boneka, dan video game.

Betul-betul sebuah pencapaian yang luar biasa dari sebuah cerita yang sangat sederhana.

Kesederhanaan akan selalu menang, begitulah fulan berkata. Dan, Eric Carle telah membuktikannya.

Bagi kalian yang ingin mengetahui isi bukunya, silakan tonton video di bawah ini:


Nabil & Naura: Studi Kasus Penokohan dalam Cerita Anak

Noor H. Dee

Pada suatu hari, saya diminta oleh Mbak Pangestuningsih (CEO Noura Books) untuk membuat buku anak yang berkenaan dengan kata-kata terima kasih, maaf, tolong, dan lain semacamnya. Alasannya, buku semacam itu belum ada di pasaran. Kalaupun ada, kami belum pernah menemukannya. Kalaupun pernah, kami tidak mengingatnya. Sebagai penanggung jawab lini anak di Penerbit Noura Books, tentu saja permintaan tersebut saya sanggupi.

Hal pertama yang saya pikirkan sebelum menulis naskah tersebut adalah tentang penokohan. Saya harus punya tokoh ceritanya dulu. Setelah bertahun-tahun bergelut di dunia fiksi, saya menyadari betul bahwa penokohan adalah salah satu hal terpenting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak ada tokoh, demikian Fulan berkata, maka tidak akan ada cerita.

Saya bisa saja langsung menulis cerita dengan tema seperti itu tanpa terlebih dahulu memusingkan siapa tokoh utamanya. Hal itu tentu tidaklah sulit bagi saya. Namun, saya tidak mau. Cerita tanpa tokoh adalah cerita yang tidak berkesan dan mudah dilupakan. Saya tidak ingin membuat cerita yang tidak berkesan dan mudah dilupakan.

Itu sebabnya, setelah menyanggupi permintaan tersebut, ketika sedang berada di atas motor sepulang bekerja, saya terus-menerus berpikir: seperti apakah tokoh utama yang akan berada di dalam cerita ini nanti?

Tokoh utama cerita adalah manusia

Begitulah yang tebersit dalam benak saya. Tokoh dalam cerita ini haruslah manusia, bukan hewan, tumbuhan, atau makhluk lainnya, apalagi monster. Sekali lagi, harus manusia. Titik.

Alasannya adalah karena saya beranggapan bahwa di Indonesia, tokoh yang berasal dari jenis manusia lebih gampang diterima oleh masyarakat. Unyil, Upin-Ipin, Boboiboy, Dodo & Syamil, misalnya, adalah tokoh yang berasal dari jenis manusia. Di luar negeri, kita tahu ada tokoh-tokoh non-manusia seperti Mickey Mouse, Barney, Peter Rabit, Tom & Jerry, Bugs Bunny, dan lain sebagainya, yang bisa dibilang sukses dan dicintai anak-anak. Namun, sejauh ini kami belum melihat ada karakter lokal non-manusia yang cukup berhasil di pasaran. Mungkin kita pernah mengenal Komo, tetapi bukankah anak-anak kita sudah tidak ada lagi yang mengenalnya? Tidak seperti Unyil yang mampu bertahan sampai sekarang. Tentu saja karakter non-manusia bisa saja berhasil di Indonesia, tetapi itu membutuhkan upaya yang lebih keras lagi.

Selain itu, saya juga berpikir begini, tema-tema cerita yang akan kami garap nanti adalah tema-tema yang diharapkan akan mampu memberikan nilai-nilai kebaikan kepada si anak. Para orangtua di Indonesia tentu lebih senang memberikan contoh-contoh kebaikan kepada anaknya dari tokoh cerita yang berasal dari jenis manusia sebagai profil teladan yang lebih riil, ketimbang dari tokoh cerita yang berasal dari jenis hewan reptil atau umbi-umbian, misalnya.

Tokoh utama cerita adalah anak-anak

Ya, karena ini adalah buku anak, tokoh ceritanya kalau bisa juga harus berasal dari kalangan anak-anak. Alasannya adalah agar si tokoh cerita memiliki keterkaitan dengan si anak. Dengan adanya keterkaitan tersebut, diharapkan tokoh cerita itu akan lebih mudah disukai dan dicintai oleh anak-anak. Bukankah anak-anak lebih senang bermain dengan teman sebayanya?

Tokoh utama cerita adalah adik-kakak

Sebenarnya bisa saja tokoh ceritanya tidak usah adik-kakak, tetapi saya pikir formula adik-kakak dalam cerita anak-anak di Indonesia selalu berhasil. Sebagai contoh, Sali & Saliha, Hafiz & Hafiza, Syamil & Nadia, dan lain semacamnya. Tokoh cerita dengan formula adik-kakak ini kelebihannya adalah bisa menyasar pembaca anak laki-laki maupun anak perempuan sekaligus. Dengan alasan itulah akhirnya kami memutuskan untuk menciptakan tokoh adik-kakak.

Tokoh utama cerita memiliki karakter yang menonjol

Tokoh yang berkarakter adalah tokoh yang akan selalu diingat. Itulah yang saya pikirkan kemudian setelah saya sudah memutuskan untuk memilih tokoh cerita dari jenis manusia dan kalangan anak-anak. Tokoh cerita ini nanti karakternya seperti apa? Apakah dia adalah anak yang manis atau pecicilan? Seperti apakah karakter yang akan selalu diingat itu?

Tokoh yang terlalu sempurna adalah tokoh yang membosankan. Begitulah yang saya yakini selama bertahun-tahun. Itu sebabnya, dalam film Syamil dan Dodo, karakter Dodo yang memiliki kekurangan lebih kuat ketimbang Syamil, misalnya, meskipun Syamil adalah tokoh utamanya.

Atas dasar pemahaman seperti itulah akhirnya saya membayangkan tokoh ceritanya seperti ini: dia adalah anak perempuan berusia 3 tahun, aktif, pecicilan, cenderung agak sembrono, lucu, dan ingin banyak tahu. Kakaknya adalah anak laki-laki berusia 5 tahun, pendiam, tipe pemikir, dan cenderung lebih tenang. Di sini saya hanya ingin melanggar steriotip yang menganggap bahwa anak perempuan harus manis dan anak lelaki harus aktif. Saya ingin membalik steriotip itu.

Tokoh utama cerita harus memiliki nama

Seberapa pentingkah sebuah nama untuk tokoh cerita dalam buku anak? Penting banget! Itu sebabnya, setelah tahu karakter tokohnya seperti apa, hal selanjutnya yang saya pikirkan adalah nama. Namanya siapa? Istri saya mengusulkan sebuah nama: Naura. Hmm. Menarik juga. Sekilas mirip dengan nama Noura Books. Nama kakaknya siapa? Saya mengusulkan: Naufal. Sepertinya penyebutan Naura & Naufal lumayan asyik didengar. Namun, setelah berdiskusi dengan teman-teman di kantor, akhirnya nama Naufal diganti menjadi Nabil. Alasannya sederhana, Nabil lebih mudah diucapkan ketimbang Naufal. Benar juga.

Akhirnya, tokoh cerita kami pun memiliki nama: Nabil dan Naura. Horeee!

Namun, tentu saja penokohan belum selesai sampai di situ. Masih ada satu hal lagi yang harus dipikirkan, yaitu ….

Tokoh cerita ini penampilannya seperti apa?

Jujur saja, gambaran penampilan Naura di benak saya sudah tergambar jelas: rambut poninya harus keluar-keluar dari kerudungnya. Alasannya adalah Naura itu tipe anak perempuan yang pecicilan. Anak perempuan yang pecicilan, jika dia berkerudung, sudah pasti rambut poninya keluar-keluar begitu. Jarang saya melihat anak perempuan yang pecicilan kerudungnya rapi jali. Iya, kan?

Dan, seperti yang kita tahu bersama, beginilah hasilnya:

*Gambar Nabil dan Naura pertama kali dibuat oleh Iput dengan arahan dari Penerbit Noura Books.
Dan, berikut adalah judul-judul buku dari seri Nabil-Naura:

Kira-kira seperti itulah proses “kelahiran” Nabil & Naura. Mereka adalah anak-anak yang menyenangkan, bukan?[]

Formula Menulis Picture Book

Noor H. Dee
Ilustrasi karya Gina dalam buku Pencuri Tebu karya Iwok Abqary

Menulis cerita dengan formula? Ya. Memangnya setiap cerita memiliki formula? Tentu saja. Fungsi formula itu untuk apa? Untuk memudahkan seseorang dalam menulis cerita. Apakah formula itu bisa dipelajari? Yep. Sulitkah? Tidak juga. Bagaimana caranya? Nanti akan dijelaskan. Mengapa harus nanti kalau bisa sekarang? Baiklah, sekarang akan dijelaskan.

FORMULA 1: Formula Karakterisasi

Tokoh utama harus anak-anak, jangan orang dewasa. Dia boleh seorang manusia, atau hewan, atau tumbuhan, atau robot, atau monster, atau siapa pun. Pokoknya anak-anak. (Sebenarnya bisa saja sih tokoh utamanya orang dewasa, tapi tokoh utama anak-anak akan memiliki keterkaitan dengan pembaca yang juga seorang anak-anak).

Tokoh utama harus memiliki kekurangan. Entah itu fisik, materi, sifat, sikap, dan lain semacamnya. Pokoknya memiliki kekurangan. Seperti Nemo yang siripnya besar sebelah atau Arlo yang keempat kakinya sangat lemah. (Sebenarnya bisa saja sih tokoh utamanya tidak perlu memiliki kekurangan, tapi tokoh utama yang memiliki kekurangan akan membuat cerita menjadi sedikit rumit dan seru).

Tokoh utama harus memiliki nama. Kalau bisa namanya hanya memiliki 1 atau 2 suku kata. Tujuannya agar mudah diucapkan dan diingat oleh anak. (Sebenarnya bisa saja sih tokoh utamanya tidak perlu memiliki nama, tapi tokoh utama yang memiliki nama biasanya lebih abadi ketimbang tokoh utama yang anonim).

Demikianlah formula untuk pembuatan karakter atau tokoh utama untuk cerita kita. Simpan formula ini baik-baik. Jangan sampai hilang. Kamu boleh memberikan formula ini kepada siapa saja secara cuma-cuma. Sekarang kita akan membahas formula selanjutnya.


FORMULA 2: Pembagian Cerita

Kalau kita perhatikan secara saksama, sebenarnya setiap karya sastra pasti memiliki beberapa pembagian cerita, atau lebih sering disebut sebagai struktur cerita. Dalam picture books pun demikian. Biasanya, pembagian ceritanya seperti ini:

Bagian Pertama: Pengenalan Karakter
Pada bagian ini kita mengenalkan karakter atau tokoh utama dalam cerita kita. Mulai dari namanya beserta kekurangannya. Misalnya: tokoh cerita kita adalah seekor semut merah bernama Mora. Kekurangannya ia memiliki sifat yang pemarah.

Bagian Kedua: Penguatan Karakter
Jika pada bagian pertama bentuknya hanya perkenalan, pada bagian ini kita tunjukkan lagi gambaran kekurangan tokoh kita. Misalnya: Kita gambarkan pemarahnya Mora itu seperti apa.

Bagian Ketiga: Pengenalan Konflik
Pada bagian ini baru deh kita mengenalkan konflik yang akan dialami oleh tokoh utama kita. Misalnya: Gara-gara sifatnya yang pemarah, akhirnya Mora dijauhi teman-temannya.

Bagian Keempat: Mengatasi Konflik
Pada bagian ini tokoh utama kita mulai berusaha mengatasi konflik atau masalah yang dia alami. Misalnya: Mora mencoba main sendirian tanpa perlu bermain bersama teman-temannya.

Bagian Kelima: Tokoh Utama Mengalami Pencerahan
Pada bagian ini tokoh utama mulai mendapatkan pencerahan dan mendapatkan kesadaran atas apa yang sudah dia perbuat. Misalnya: Ternyata Mora baru tahu bahwa bermain bersama itu lebih menyenangkan ketimbang bermain sendiri.

Bagian Keenam: Penyelesaian Masalah
Pada bagian ini tokoh utama mencoba mencari cara untuk menyelesaikan masalah, dan itu artinya cerita sudah hampir berakhir. Karena ini adalah buku anak, ending atau akhir cerita harus berakhir bahagia dan menyenangkan.

Selesai.

Oke. Formula kedua sudah lengkap tersampaikan. Jika kamu merasa formula ini enggak cocok, kamu bisa mencari formula yang lain yang sekiranya cocok dengan kamu. Atau, kamu punya formula tersendiri? Jika punya, maukah kamu berbagi? Kira-kira sekian dulu formula ini saya tulis. Semoga bisa memberikan manfaat.

Di bawah ini saya sertakan cerita anak hasil karya saya sendiri dengan menggunakan formula di atas. Saya menambahkan unsur repetisi dan rima, hanya untuk pencapaian estetika. Kalau sekiranya cerita saya ini kurang menarik, kalian boleh memberikan kritik.

Selamat membaca.

Mora Si Pemarah

(Halaman 1-2)
Mora adalah semut yang pemarah.
Tubuhnya kecil dan berwarna merah.
Jika sedang marah Mora selalu menggigit.
Tentu saja rasanya sakit.

(Halaman 3-4)
Mora menggigit Lebi si lebah.
Mora menggigit Gajo si Gajah.
Mora menggigit Lili si Lalat.
Mora menggigit Ulin si Ulat.

(Halaman 5-6)
Akhirnya Mora dijauhi teman-temannya.
Tidak ada lagi yang ingin bermain dengannya.
“Kami tidak ingin bermain denganmu lagi,” ujar Lebi, Gajo, Ulin, dan Lili.
Mereka pergi meninggalkan Mora seorang diri.

(Halaman 7-8)
“Huh! Aku juga bisa main sendiri, kok!” ujar Mora marah.
Mora pun pulang dan wajahnya terlihat semakin merah.

(Halaman 9-10)
Sesampainya di rumah, Mora mencoba bermain sendiri.
“Enaknya main apa, ya?” tanya Mora dalam hati.

(Halaman 11-12)
Mora mencoba bermain bola.
Ah, tidak seru kalau tidak bermain bersama.

(Halaman 13-14)
Mora bermain masak-masakan,
Uh, tidak enak bermain sendirian.

(Halaman 15-16)
Lalu Mora melihat ke luar jendela.
Terlihat Lebi, Gajo, Ulin, dan Lili sedang bermain dan tertawa.
Mora menyesal dulu sering marah-marah.
Mulai sekarang Mora ingin berubah.

(Halaman 17-18)
Mora keluar rumah dan menghampiri teman-temannya.
“Teman-teman, aku minta maaf, ya,” ujar Mora.
Lebi, Gajo, Ulin, dan Lili tidak percaya.
“Apa betul kamu tidak akan gigit kami lagi?” tanya mereka.

(Halaman 19-20)
Mora mengangguk, “Iya, aku janji.”
Setelah itu, mereka bersalaman dan bermain bersama lagi.

TAMAT

Sejarah Singkat Buku Pop-Up

Noor H. Dee

Pada abad ke-13, seorang biarawan Inggris, Matthew Paris, merancang sebuah perangkat kertas bergerak yang dapat diputar, volvelle, untuk bukunya yang berjudul Chronica Majorca (1236-1253). Volvelle digunakan untuk kalender keagamaan, seperti perhitungan matematis, kakulasi astronomi, alat bantu navigasi, bahkan sarana untuk meramal. Volvelle juga digunakan untuk menghitung tanggal libur umat Kristen untuk tahun-tahun yang akan datang.


Pada 1543, Andreas Vesalius menerbitkan buku De corporis humani fabrica libri septem, yang berisi tentang anatomi tubuh manusia. Ilustrasi-ilustrasi otot, tulang, dan jeroan digambar dengan teknik cukil. Menariknya adalah, Andreas Vesalius menggunakan inovasi teknik lift-the-flap (buka-tutup) dalam buku kerennya itu. Ketika kertas bergambar yang merupakan bagian penutup itu diangkat, gambar di bagian bawahnya akan terlihat. Dengan demikian, bagian dalam tubuh menjadi semakin jelas. Untuk pertama kalinya, pembaca bisa memiliki pengalaman yang asyik untuk menyelidiki bagian dalam tubuh manusia.


Sebelum abad ke-18, di Eropa Barat tidak ada buku yang ditulis secara khusus untuk anak-anak. Anak-anak dianggap amoral dan liar. Baru pada paruh kedua abad ke-18, anak-anak mulai dianggap sebagai makhluk rasional dan buku-buku untuk anak pun mulai diproduksi. Salah satu penerbit yang menjual buku khusus untuk anak-anak saat itu adalah Penerbit John Newberry.

Pada 1765, penerbit Robert Sayer memproduksi seri movable book pertama untuk anak-anak. Buku-buku itu bentuknya sederhana, dengan teknik kertas lift-the-flap (buka-tutup) di tiap halamannya, sama seperti buku anatominya Andreas Vesalius di atas. Popularitas buku-buku mereka tumbuh dengan cepat.


Setelah itu, kesadaran masyarakat untuk menyebarkan buku-buku bacaan kepada anak-anak semakin meningkat. Revolusi Industri telah berada di puncaknya. Masyarakat dari beragam kalangan membelanjakan uang mereka untuk sesuatu yang dianggap mewah, salah satunya adalah membeli movable book atau buku-bergerak atau buku-yang-dapat-digerakkan.

Pada 1810, penerbit S & J Fuller asal Inggris menerbitkan buku The History of Little Fanny, buku kertas-boneka pertama di dunia. Boneka dalam buku itu memiliki pakaian kertas yang bisa dipasang-copot sekehendak hati. Sama seperti mainan orang-orangan dari kertas yang sangat booming di Indonesia pada era 90-an.


Pada 1820-an, pelukis potret miniatur William Grimaldi membuat buku sejenis buka-tutup atau lift-the-flap. Dia membuat sketsa benda-benda dari meja rias putrinya sebagai representasi dari nilai kebaikan tertentu. Gambar benda-benda itu sebagai penutup (flap), yang ketika diangkat, akan memperlihatkan tulisan yang menggambarkan nilai kebaikan tersebut. Setahun kemudian, pada 1821, anaknya yang bernama Stacy menerbitkan buku pertamanya yang berjudul The Toilet. Buku itu sukses di pasaran dan menginspirasi penerbit-penerbit lain untuk menerbitkan buku-buku yang serupa.


Pada 1850-an, movable book mulai diproduksi dalam skala besar. Penerbit Dean & Sons diklaim sebagai penerbit pertama yang melakukannya. Mereka memperkerjakan beberapa seniman untuk membuat movable book jenis baru. Hal tersebut melahirkan beragam teknik baru dan keren, seperti penggunaan pita sebagai penopang untuk memegang gambar di halaman, dan membuat adegan di dalam buku itu menjadi lebih hidup.

Setelah itu, banyak bermunculan penerbit yang memproduksi movable book.

Pada akhir abad ke-19, movable book dicetak dalam jumlah yang jauh lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Pada zaman Victoria, radio, televisi, dan playstasion belum ada, jadi buku-buku dengan kemasan yang unik seperti movable book menjadi sebuah hiburan yang bisa dinikmati seluruh keluarga. Zaman itu sering disebut sebagai Zaman Keemasan bagi Movable Books.

Pada zaman keemasan movable book itulah hidup seorang “paper engineer” yang dianggap genius. Dia adalah Lothar Meggendorfer (1847-1925), berasal dari Munich, Jerman. Buku-bukunya telah menyenangkan anak-anak di seluruh dunia. Dia mampu membuat sebuah buku yang hanya dengan satu tarikan saja bisa membuat gambar-gambar di dalamnya melakukan beberapa gerakan.




Perang Dunia I menghancurkan pusat-pusat alat produksi untuk percetakan dan manufaktur mainan di Jerman. Hal tersebut menyulitkan mereka untuk mengumpulkan tenaga kerja yang diperlukan untuk memproduksi movable book. Produksi kertas dan permintaan pun menurun.

Sepanjang krisis produksi selama Perang Dunia itu, salah satu orang cerdas meniupkan napas baru ke dalam penerbitan buku mekanis. Dialah Stephan Louis Giraud (1879-1950), berasal dari Inggris, yang telah mematenkan struktur variasi kertas yang dia sebut sebagai “stand-up life-like”, “living models”, dan “pictures that spring to life”. Sejak 1929 sampai 1949, Giraud menerbitkan buku yang menampilkan sebuah struktur tiga dimensi yang bisa berdiri tegak di dalam halaman ketika buku itu dibuka. Itulah buku yang dianggap sebagai buku pop-up pertama di dunia.





Penerbit dan seniman Amerika pun menyusul Inggris dalam jumlah produksi yang lebih besar dalam menggunakan struktur dan perangkat yang bisa digerakkan ke dalam buku-buku, iklan, dan kartu ucapan.

Pada 1932, sebuah perusahaan asal New York, Blue Ribbon Press, mengikuti apa yang telah Giraud lakukan. Mereka menghasilkan serangkaian buku pop-up dari dongeng-dongeng klasik dan karakter kartun seperti Popeye, Dick Tracy, dan Little Orphan Annie. Adalah Penerbit Blue Ribbon yang menciptakan istilah “pop-up” yang kita kenal sampai sekarang.

Sekian.


*Artikel ini diterjemahkan secara bebas oleh saya sendiri dari ketiga sumber di bawah ini:

1. http://www.popuplady.com/about01-history.shtml
2. https://www.library.unt.edu/rarebooks/exhibits/popup2/
3. https://blog.bookstellyouwhy.com/a-brief-history-of-the-pop-up-book

Coprights @ 2017, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates